Kamis, 25 November 2010

Bunyi Bell Pintu Di Hari Natal

Kliping koran itu sudah berwarna kuning seperti sebuah gulungan
perkamen. Artikel yang sangat berharga ini sudah berumur lebih dari
empat puluh tahun, ditulis oleh seorang laki-laki yang tinggal di sebuah
kota kecil tempat saya dibesarkan. Artikel itu ditulis oleh SL Morgan Sr
untuk buletin gereja, mengenang akan kedatangan dua orang tamu kecil:
"Sebuah Natal terbaik saya 'dinyalakan' oleh kunjungan dua anak
perempuan kecil yang menekan bell rumah, dua minggu sebelum hari Natal
dan memberikan dua buah kartu natal kecil buatan mereka sendiri. Apa
yang mereka lakukan sejujurnya telah menghidupkan hikmah Natal dalam
hidup saya. Kejadian itu begitu membekas dengan sangat indah di dalam
hidup saya."

Saya adalah salah satu dari dua anak perempuan kecil itu.

Saya dan Claudia, sahabat saya, mulai menghitung hari-hari menjelang
Natal, berharap menemukan mainan di bawah pohon cemara hias di hari
Natal pagi. Kami sudah berumur delapan tahun dan semakin bijaksana. Kami
tahu, Sinterklas mungkin tidak akan memberikan apa saja yang kami
inginkan. Seperti orang tua kami yang selalu bekerja keras, menurut kami
tahun ini Sinterklas juga menghadapi anggaran keuangan yang ketat.

Claudia menunjukkan sebuah majalah mengenai penjualan kartu natal yang
bisa memenangkan sebuah sepeda yang mengkilap dan hadiah-hadiah menarik
lainnya. Terinspirasi oleh kesaksian anak-anak yang sudah menjual ribuan
kartu natal, kami berharap bisa mengumpulkan uang untuk membeli mainan
dan hadiah Natal. Kami menghabiskan waktu sepanjang hari Sabtu, bekerja
dengan krayon, gunting, lem, dan kertas-kertas berwarna untuk mendesain
kartu natal dengan harapan bisa menghasilkan kekayaan yang tak ternilai.

Tetapi saat mengetahui rencana kami untuk berjualan kartu Natal, ibu
melarang kami. Sebaliknya ibu meminta agar kami untuk membagikannya ke
semua orang dengan gratis. (Ibu saya berasal dari wilayah selatan yang
sangat sopan, pasti malu saat mengetahui rencana anaknya untuk
menjajakan katu Natal buatan sendiri dari rumah ke rumah). Saya dan
Claudia dengan enggan menuruti permintaan ibu.

Sepanjang sore kami membunyikan banyak bel pintu rumah, membagikan
satu-persatu kartu natal ke setiap orang yang kami rasa memerlukan
perhatian pada Natal ini. Kami juga menekan bel pintu rumah Pak Morgan,
dan tanpa basa-basi kami memberikan kartu buatan sendiri tersebut ke
orang tua dengan rambut putih. Guratan-guratan di wajah orang tua itu
berubah menjadi sebuah senyum saat dia membaca tulisan kami yang tidak
rapi: "Selamat Natal! Kami menyayangi anda."

"Terima kasih anak-anak," katanya. "Ini adalah katu Natal yang paling
indah yang pernah bapak terima."

Kami berpikir bahwa itu hanya sekedar basa-basi, karena kartu Natal yang
dijual di toko dengan pita emas beserta seluruh hiasannya jauh lebih
indah daripada yang kami buat. Tetapi pendapat itu lenyap saat saya
membaca artikel yang ditulis oleh orang tua itu beberapa tahun kemudian
dan saya baru menyadari betapa berartinya tindakan sederhana yang telah
kami lakukan - ternyata bisa membangkitkan semangatnya.

Setelah kunjungan kami, Pak Morgan kemudian menulis, bahwa dia "mulai
memberitahu para tetangganya, yang sedang bersungut-sungut atau
bersedih, supaya 'mendengarkan bunyi sukacita dari bel pintu rumah' ".
Dia mendesak para pembaca supaya "memenuhi kotak surat dengan ribuan
kartu yang berisi ucapan pribadi." Bertahun-tahun kemudian Pak Morgan
meneruskan tradisi Nartal untuk mengirimkan ucapan 'kasih sayang' kepada
para teman dan kenalan di seluruh dunia: "Saya yakin telah mengumpulkan
banyak persahabatan yang langgeng selama bertahun-tahun hanya dengan
sebuah kartu ucapan 'kasih sayang' yang dikirimkan sekali setahun,"
tulisnya. "Tidak ada yang bisa memberikan yang lebih baik dari hal itu."

Saya sangat berterima kasih kepada ibu, karena saya telah menuai buahnya
selama bertahun-tahun setelahnya. Kliping koran di dalam kotak
mengingatkan tentang sukacita yang kami rasakan saat saya dan Claudia
menekan bel pintu rumah para tetangga di sore hari yang dingin saat itu.
Saya ingat semua senyum di wajah dari orang-orang yang kami sapa dan
ucapan berpisah yang mengalun seperti bunyi genta di udara yang beku
saat kami meninggalkan mereka yang masih mematung berdiri di depan
pintu, bahagia diliputi rasa haru.

Beberapa tahun lalu, saya mengirimkan fotocopy dari artikel Pak Morgan
ke Claudia. Saya mengikuti contoh Pak Morgan untuk menulis sebuah pesan
pribadi di sebuah kartu, memberitahu Claudia betapa persahabatan saat
kecil sangat berarti bagi saya, dan bagaimana ingatan tentang
tahun-tahun yang penuh kegembiraan dan kasih itu senantiasa muncul
kembali.

Gaung dari peristiwa di sore itu terus menabuh bunyi lonceng kebenaran
selama bertahun-tahun setelahnya, seperti bel pintu yang kami nyalakan
ketika masih anak-anak di sore yang dingin bulan Desember.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar